Sasak People (1911)
Era Pra Sejarah tanah Lombok tidak jelas karena sampai saat ini belum ada data-data dari para ahli serta bukti yang dapat menunjang tentang masa pra sejarah tanah Lombok.Suku Sasak temasuk dalam ras tipe melayu yang konon telah tinggal di Lombok selama 2.000 tahun yang lalu dan diperkirakan telah menduduki daerah pesisir pantai sejak 4.000 tahun yang lalu, dengan demikian perdagangn antar pulau sudah aktif terjadi sejak zaman tesebut dan bersamaan dengan itu saling mempengaruhi antarbudaya juga telah menyebar.
LOMBOK MIRAH SASAK ADI merupakan salah satu kutipan dari kitab Negarakertagama, sebuah kitab yang memuat tentang kekuasaan dan pemerintahaan kerajaan Majapahit. Kata Lombok dalam bahasa kawi berarti lurus atau jujur, kata mirah berarti permata, kata sasak berarti kenyataan, dan kata adi artinya yang baik atau yang utama maka arti keseluruhan yaitu kejujuran adalah permata kenyataan yang baik atau utama. Makna filosofi itulah mungkin yang selalu di idamkan leluhur penghuni tanah Lombok yang tercipta sebagai bentuk kearifan lokal yang harus dijaga dan dilestariakan oleh anak cucunya.
Sasak Children
Dalam kitab – kitab lama, nama Lombok dijumpai disebut Lombok mirah dan Lombok adi beberapa lontar Lombok juga menyebut Lombok dengan gumi selaparang atau selapawis.
Asal-usul penduduk pulau Lombok terdapat beberapa Versi salah satunya yaitu Kata sasak secara etimilogis menurut Dr. Goris. s. berasal dari kata sah yang berarti pergi dan shaka yang berarti leluhur. Berarti pergi ke tanah leluhur orang sasak (Lombok). Dari etimologis ini diduga leluhur orang sasak adalah orang Jawa, terbukti pula dari tulisan sasak yang oleh penduduk Lombok disebut Jejawan, yakni aksara Jawa yang selengkapnya diresepsi oleh kesusastraan sasak.
Sasak traditional house
Etnis Sasak merupakan etnis mayoritas penghuni pulau Lombok, suku sasak merupakan etnis utama meliputi hampir 95% penduduk seluruhnya. Bukti lain juga menyatakan bahwa berdasarkan prasasti tong – tong yang ditemukan di Pujungan, Bali, Suku sasak sudah menghuni pulau Lombok sejak abad IX sampai XI masehi, Kata sasak pada prasasti tersebut mengacu pada tempat suku bangsa atau penduduk seperti kebiasaan orang Bali sampai saat ini sering menyebut pulau Lombok dengan gumi sasak yang berarti tanah, bumi atau pulau tempat bermukimnya orang sasak.
Sasak People in Ceremony
Sejarah Lombok tidak lepas dari silih bergantinya penguasaan dan peperangan yang terjadi di dalamnya baik konflik internal, yaitu peperangan antar kerajaan di Lombok maupun ekternal yaitu penguasaan dari kerajaan dari luar pulau Lombok. Perkembangan era Hindu, Budha, memunculkan beberapa kerajaan seperti selaparang Hindu, Bayan. Kereajaan-kerajaan tersebut dalam perjalannya di tundukan oleh penguasaan kerajaan Majapahit dari ekspedisi Gajah Mada pada abad XIII – XIV dan penguasaan kerajaan Gel – Gel dari Bali pada abad VI. Antara Jawa, Bali dan Lombok mempunyai beberapa kesamaan budaya seperti dalam bahasa dan tulisan jika di telusuri asal – usul mereka banyak berakar dari Hindu Jawa hal itu tidak lepas dari pengaruh penguasaan kerajaan Majapahit yang kemungkinan mengirimkan anggota keluarganya untuk memerintah atau membangun kerajaan di Lombok.
Pengaruh Bali memang sangat kental dalam kebudayaan Lombok hal tersebut tidak lepas dari ekspansi yang dilakukan kerajaan Bali sekitar tahun 1740 di bagian barat pulau Lomboq dalam waktu yang cukup lama. Sehingga banyak terjadi akulturasi antara budaya lokal dengan kebudayaan kaum pendatang hal tersebut dapat dilihat dari terjelmanya genre – genre campuran dalam kesenian. Banyak genre seni pertunjukan tradisional berasal atau diambil dari tradisi seni pertunjukan dari kedua etnik. Sasak dan Bali saling mengambil dan meminjam dan terciptalah genre kesenian baru yang menarik dan saling melengkapi.
Sasak woven cloths
Gumi sasak silih berganti mengalami peralihan kekuasaan hingga ke era Islam yang melahirkan kerajaan Islam Selaparang dan Pejanggik. Islam masuk ke Lombok sepanjang abad XVI ada beberapa versi masuknya Islam ke Lombok yang pertama berasal dari Jawa masuk lewat Lombok timur. Yang kedua pengIslaman berasal dari Makassar dan Sumbawa ketika ajaran tersebut diterima oleh kaum bangsawan ajaran tersebut dengan cepat menyebar ke kerajaan–kerajaan di Lombok timur dan Lombok tengah.
Mayoritas etnis sasak beragama Islam, namun demikian dalam kenyataanya pengaruh Islam juga berakulturasi dengan kepercayaan lokal sehingga terbentuk aliran seperti waktu telu, jika dianalogikan seperti abangan di Jawa. Pada saat ini keberadaan waktu telu sudah tidak kurang mendapat tempat karena tidak sesuai dengan syariat Islam. Pengaruh Islam yang kuat menggeser kekuasaan Hindu di pulau Lombok, hingga saat ini dapat dilihat keberadaannya hanya di bagian barat pulau Lombok saja khususnya di kota Mataram.
Sasak is smiling people too like Balinese
Silih bergantinya penguasaan di Pulau Lombok dan masuknya pengaruh budaya lain membawa dampak semakin kaya dan beragamnya khasanah kebudayaan sasak. Sebagai bentuk dari Pertemuan(difusi, akulturasi, inkulturasi) kebudayaan. Seperti dalam hal Kesenian, bentuk kesenian di lombok sangat beragam.Kesenian asli dan pendatang saling melengakapi sehingga tercipta genre-genre baru. Pengaruh yang paling terasa berakulturasi dengan kesenian lokal yaitu kesenian bali dan pengaruh kebudayaan islam. Keduanya membawa Kontribusi yang besar terhadap perkembangan ksenian-kesenian yang ada di Lombok hingga saat ini. Implementasi dari pertemuan kebudayaan dalam bidang kesenian yaitu, Yang merupakan pengaruh Bali ; Kesenian Cepung, cupak gerantang, Tari jangger, Gamelan Thokol, dan yang merupakan pengaru Islam yaitu Kesenian Rudad, Cilokaq, Wayang Sasak, Gamelan Rebana.
Sistem Kemasyarakatan Suku Sasak
Dalam system kemasyarakatan ini terdapat bebrapa pengertian pokok antara lain : Pelapisan Sosial, Pemerintahan, Organisasi Sosial, dan Sistem Kekerabatan.
Pelapisan Sosial
Di daerah lombok secara umum terdapat 3 Macam lapisan sosial masyarakat :
[*]Golongan Ningrat
[*] Golongan Pruangse
[*] Golongan Bulu Ketujur ( Masyar
akat Biasa )
Masing -masing lapisan sosial masyarakat di kenal dengan Kasta yang mempunyai kriteria tersendiri :
Golongan Ningrat ; Golongan ini dapat diketahui dari sebutan kebangsawanannya. Sebutan keningratan ini merupakan nama depan dari seseorang dari golongan ini. Nama depan keningratan ini adalah ” lalu ” untuk orang-orang ningrat pria yang belum menikah. Sedangkan apabila merka telah menikah maka nama keningratannya adalah ” mamiq “. Untuk wanita ningrat nama depannya adalah ” lale”, bagi mereka yang belum menikah, sedangkan yang telah menikah disebut ” mamiq lale”.
Golongan Pruangse ; kriteria khusus yang dimiliki oleh golongan ini adalah sebutan “ bape “, untuk kaum laki-laki pruangse yang telah menikah. Sedangkan untuk kaum pruangse yang belum menikah tak memiliki sebutan lain kecuali nama kecil mereka, Misalnya seorang dari golongan ini lahir dengan nama si ” A ” maka ayah dari golongan pruangse ini disebut/dipanggil ” Bape A “, sedangkan ibunya dipanggil ” Inaq A “. Disinilah perbedaan golongan ningrat dan pruangse.
Golongan Bulu Ketujur ; Golongan ini adalah masyarakat biasa yang konon dahulu adalah hulubalang sang raja yang pernah berkuasa di Lombok. Kriteria khusus golongan ini adalah sebutan ” amaq ” bagi kaum laki-laki yang telah menikah, sedangkan perempuan adalah ” inaq “.
Di Lombok, nama kecil akan hilang atau tidak dipakai sebagai nama panggilan kalau mereka telah berketurunan. Nama mereka selanjutnya adalah tergantung pada anak sulungnya mereka. Seperti contoh di atas untuk lebih jelasnya contoh lainnya adalah bila si B lahir sebagai cucu, maka mamiq A dan Inaq A akan dipanggil Papuk B. panggilan ini berlaku untuk golongan Pruangse dan Bulu Ketujur. Meraka dari golongan Ningrat Mamiq A dan Mamiq lale A akan dipanggil Niniq A.
Adat Suku Sasak
Atap rumah Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek). Lantainya dibuat dari tanah liat yang dicampur dengan kotoran kerbau dan abu jerami. Seluruh bahan bangunan (seperti kayu dan bambu) untuk membuat rumah adat tersebut didapatkan dari lingkungan sekitar mereka, bahkan untuk menyambung bagian-bagian kayu tersebut, mereka menggunakan paku yang terbuat dari bambu. Rumah adat suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah, dan tidak memiliki jendela. Pintu yang rendah sengaja dibuat terutama di rumah kepala suku yang menandakan kehormatan karena ketika masuk harus menundukan badannya.
Perekonomian Suku Sasak
Kehidupan perekonomian suku sasak yaitu dalam bidang pertanian dan perkebunan. Mereka bertani dan menanam berbagai kebutuhan mereka sehari-hari. Sepulangnya mereka dari bertani, mereka menyempatkan diri untuk bertenun di sore hari. Tetapi, untuk saat ini dengan semakin terkenalnya suku sasak dan makin banyaknya ‘pelancong’ yang datang ke perkampungan mereka, maka mereka pun menjual berbagai hasil karya baik tenun maupun kerajinan tangan mereka yang lainnya. Di satu desa Sade yang saya datangi pun hampir setiap 3 meter atau setiap rumah menjual hasil karya mereka. Saat ini, suku sasak di desa Sade jauh lebih berkembang dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kerejinan tangan mereka sudah dikoordinir oleh koperasi desa yang dikelola oleh pengurus desa yang tidak lain masih satu kerabat dengan seluruh masyarakatnya.
kimpoi Lari ala Suku Sasak-Lombok NTB
Quote:

Kalau Anda di Lombok dan ingin menikah curilah anak gadis itu, bawa lari tanpa sepengetahuan keluarganya, bila sehari semalam tidak ada kabar maka dianggap gadis itu telah menikah!
Mencuri untuk menikah lebih kesatria dibandingkan meminta kepada orang tuanya. Namun ada aturan dalam mencuri gadis di suku asli di Pulau Lombok.
Memang cukup unik dari suku Sasak penduduk asli warga di Pulau Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat. Untuk urusan perjodahan suku ini menyerahkan semuanya pada anak, bila keduanya sudah saling suka, tidak perlu menunggu lama untuk menikah, curi saja anak gadis itu, pasti menikah. mencuri anak gadis itu lebih diterima keluarganya. Merarik istilah bahasa setempat untuk menyebutkan proses pernikahan dengan cara dicuri. Caranya cukup sederhana, jika keduanya saling menyukai dan tidak ada paksaan dari pihak lain, gadis pujaan itu tidak perlu memberitahukan kepada kedua orangtuanya. Bila ingin menikah langsung aja bawa gadis itu pergi dan tidak perlu izin.Mencuri gadis dengan melarikan dari rumah menjadi prosesi pernikahan yang lebih terhormat dibandingkan meminta kepada orang tuanya. Ada rasa kesatria yang tertanam jika proses ini dilalui. Terlebih lagi kelas bangsawan yang di sana menyandang gelar Lalu dan Raden. Namun Jangan lupa aturan, mencuri gadis dan melarikannya biasanya dilakukan dengan membawa beberapa orang kerabat atau teman. Selain sebagai saksi kerabat yang dibawa untuk mencuri gadis itu sekalian sebagai pengiring dalam prosesi itu.
Dan gadis itu tidak boleh dibawa langsung ke rumah lelaki, harus dititipkan ke kerabat laki-laki. Setelah sehari menginap pihak kerabat laki-laki mengirim utusan ke pihak keluarga perempuan sebagai pemebritahuan nahwa anak gadisnya dicuri dan kini berada di satu tempat tetapi tempat menyembunyikan gadis itu dirahasiakan, tidak boleh ketahuan keluarga perempuan. Nyelabar, Istilah bahasa setempat untuk pemberitahuan itu, dan itu dilakukan oleh kerabat pihak lelaki tetapi orangtua pihak lelaki tidak diboleh ikut. Rombongan Nyelabar terdiri lebih dari 5 orang dan wajib mengenakan berpakaian adat. Rombongan tidak boleh langsung datang kekeluarga perempuan.Rombongan terlebih dahulu meminta izin pada Kliang atau tetua adat setempat, sekedar rasa penghormatan kepada kliang, datang pun ada aturan rombongan tidak diperkenankan masuk ke rumah pihak gadis. Mereka duduk bersila dihalaman depan, satu utusan dari rombongan itu yang nantinya sebagai juru bicara menyampaikan pemberitahuan.
Memang unik budaya yang ada di Suku Sasak namun kini ada pergeseran budaya Merarik, seperti adanya prosesi meminta kepada orangtua dan bertunangan yang sebelumnya kurang dikenal oleh suku sasak. Tetapi seiring berkembangnya budaya luar dari masyarakat perantau yang datang dan menetap Akulturasi Budaya mulai terjadi. Lahirlah istilah sudah menikah tetapi belum nikah adat. Artinya prosesi menikah itu dilakukan dengan cara meminang tetapi belum menikah secara Merarik, mencurinya dari rumah si Perempuan. Ini Akulturasi Budaya yang muncul, meminang dan mencuri anak gadis prosesi nikan yang dujalankan bersamaan.
Peresean
Salah satu Budaya tradisional yang merupakan warisan peninggalan nenek moyang suku Sasak adalah budaya Peresean. Peresean adalah salah satu dari sekian banyak Budaya asli suku Sasak yang ada di Pulau Lombok. Budaya Peresean ini merupakan sebuah seni tradisional pertarungan antara dua orang petarung yang disebut pepadu, dengan menggunakan sebuah rotan sebagai pemukul yang disebut penjalin yang ujungnya dilapisi balutan aspal dan pecahan beling yang ditumbuk sangat halus, dan perisai sebagai pelindung yang disebut ende yang terbuat dari kulit sapi atau kulit kerbau.
Quote:


Acara adat Peresean ini telah berlangsung secara turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu, dan acara ritual adat Peresean ini biasanya digelar disaat musim kemarau tiba untuk memanggil hujan. Tradisi atau budaya Peresean ini sangat disakralkan oleh masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok, tapi karena sesuai dengan perkembangan jaman maka saat ini tradisi Peresean diadakan hanya pada saat-saat tertentu menjelang perayaan-perayaan khusus seperti pada perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, hari Ulang Tahun Kabupaten/Kotamadya di Pulau Lombok atau menjelang bulan Ramadhan. Tradisi Peresean ini pada awalnya dilatar belakangi oleh rasa emosional para raja-raja di masa lampau ketika mereka harus berjuang menuju medan pertempuran untuk mengalahkan musuh-musuhnya. Pada budaya tradisi Peresean ini biasanya para pesertanya atau pepadu tidak pernah dipersiapkan terlebih dahulu seperti umumnya pada pertarungan-pertarungan lainnya, karena para penonton yang hadir juga bisa ikut mengambil bagian dalam pertarungan ini, atau pemimpin pertandingan yang disebut pekembar bisa menunjuk secara langsung calon pepadu dari para penonton yang hadir ketika acara pertarungan hendak dimulai saat itu.
Jumlah petarung (pepadu) dalam Peresean ini biasanya tidak pernah dibatasi, dan pertarungan dilakukan satu lawan satu yang dipimpin oleh dua orang wasit (pekembar) yaitu wasit tengah yang bertugas memimpin pertandingan, dan wasit pinggir yang bertugas untuk memberikan nilai pada pasangan yang bertarung. Pertarungan dalam Peresean ini dilakukan dengan sistem ronde sebanyak 5 ronde, dan para petarung (pepadu) hanya diperbolehkan memukul bagian atas tubuh lawan yaitu bagian pundak, punggung dan kepala, dan petarung tidak boleh memukul bagian bawah tubuh lawan dari pinggang, paha hingga kaki. Untuk nilai tertinggi pada pertarungan Peresean ini adalah jika salah satu petarung (pepadu) berhasil memukul kepala lawannya. Jika anggota badan salah satu petarung (pepadu) mengeluarkan darah pada ronde awal maka petarung (pepadu) tersebut akan dinyatakan kalah dan pertarungan dianggap selesai, atau salah satu dari petarung ada yang menyerah. Tapi jika kedua petarung mampu bertahan hingga ronde ke 5 selesai, maka pemenangnya ditentukan dengan nilai tertinggi yang diberikan oleh wasit (pekembar) pinggir.
Aksara Sasak
Mungkin kita anak-anak muda generasi2 modern sasak ada yang tidak tahu tentang aksara sasak tapi hampir sepertinya tau karna telah masuk pada materi muatan lokal di sekolah-sekolah dasar sampai menegah atas. Sedikit mengulas lagi tentang aksara sasak dan melihat beberapa perbedaan dengan aksara Jawa.
Aksara
Berdasarkan asal usul-usul serta pemakaian naskah di dalam naskah lontar baik berbahasa Sasak maupun berbahasa jawa (Kawi), aksara Jejawan/aksara Sasak dibedakan atas tiga kelompok yaitu :
Aksara Carakan ( Sasak; Aksara Baluq Olas )
Aksara Swalalita
Aksara Rekan
Quote:
Aksara Carakan
Asal usul aksara Jejawan/sasak adalah dari Aksara Jawa, dari segi pelafalan berjumlah 20 buah dengan urutan : ha , na , ca , ra , ka ,da , ta ,sa , wa , la , pa , dha , ja , ya , nya , ma , ga , ba , tha , nga.
Tapi yang diserap ke dalam aksara Jejawan/Sasak hanya 18 buah dan disebut aksara Baluq Olas dengan tata urutan sebagai berikut :
Quote:
Aksara Swalalita
Yaitu aksara yang dipakai untuk tulis menulis dalam naskah-naskah lontar Sasak baik naskah berbahasa Sasak maupun berbahasa Jawa (Kawi). Aksara Swalalita terdiri atas :
Huruf Vokal ( Aksara Swara )
Huruf Konsonan ( Aksara Wyanjana )
Contoh aksara sawara :
Aksara Swara ini digunakan bila ia berdiri di depan serta menyatakan nama diri, nama tempat, nama haria dll. Aksara Swara ini juga berkedudukan sebagai Aksara Murdha, yang jika dialih aksarakan ke huruf latin-indonesia menjadi huruf Kapital, kecuali le. Contoh :
Aksara Swara : i , u , e , o , dan e, apabila melekat pada aksara Wyanjana maka aksara Swara berubah menjadi sandarangan bunyi dengan bentuk-bentuk tertentu serta penempatannya ada di atas, di bawah, di depan atau di belakang, seperti berikut :
Aksara Wyanjana : h, r , ng berada pada akhir suku kata, berubah menjadi sandangan bunyi dan berfungsi untuk mematikan suku. Sedangkan ” ra ” dan ” re ” untuk menghidupkan suku.
Aksara Carakan ( aksra baluq olas ) secara lahiriah telah mengandung bunyi vocal ” a ” , serta merupakan satu suku. Apabila belum mengandung bunyi vocal ” a ” ( h, n, c dst. Bukan ha, na, ca dst.) disebut Aksra Legena.
Dari tabel aksra Wyanjana di atas jelaslah dapat di ketahui pemakaian aksara Wyanjana pada naskah lontar sasak yang berbahasa Kawi dengan naskah lontar yang berbahasa Sasak.
Keterangan tambahan :
KANTYA adalah suara vocal atau konsonan yang dihasilkan dengan mendekatkan lidah kepada guttur (kantha) yaitu bagian langit-langit dekat kerongkongan. Terdiri atas : a, ka, kha, ga, gha, nga.
TALAWYA adalah suara vocal atau konsonan yang dihasilkan dengan mendekatkan lidah kepada palatum (talu) yaitu langit-langit lembut. Terdiri atas : i, ca, cha, ja, nya,.Talawya juga disebut Aksara Kalpaprana yaitu aksara yang lahir dari articulator tengah lidah yang disertai hembusan nafas kecil.
MURDHANYA adalah suara vocal atau konsonan yang dihasilkan dengan mendekatkan lidah kepada langit-langit keras (murdha atau ceberum). Terdiri atas : ta, da, na, re.
DANTYA adalah suara vocal atau konsonan yang dihasilkan dengan menyentuhkan ujung lidah kepada lengkung kaki gigi atas ( dental atau danta ). Terdiri atas : ta, tha, da, dha, na, la.
OSTHYA adalah suara vocal atau konsonan yang dihasilkan dengan mendekatkan kedua bibir ( labial atau ostha ). Terdiri atas : u, pa, pha, ba, bha, ma. Osthya juga disebut aksra Maharaprana yaitu aksara yang mendapat hembusan nafas besar.
ARDHASWARA adalah bunyi setengah vocal dan setengah konsonan ( semivokal atau antyaswara). Tersiri atas : ya, ra, la, wa.
USNA adalah bunyi desis ( sibilant atau asthiswara). Terdiri atas : ça, sha, sa .
WISARGA adalah bunyi yang terjadi dengan adanya hembusan nafas serta tidak memiliki daerah artikulasi (aspirat).
GLOTAL STOP adalah bunyi yang dihasilkan dengan jalan menutup rapat hembusan nafas pada rongga mulut.
Dengan adanya lambing bunyi Glotal Stop yaitu (‘/q) maka dapat diketahui bahwa aksara Wyanjana yang dipakai sebagai alat tulis menulis dalam bahasa sasak berjumlah 19. Hal ini pula yang membuktikan bahwa Aksara Jejewan/Sasak menunjukkan cirri tersendiri dalam melambangkan bunyi.
Yaitu aksara yang dipakai untuk tulis menulis dalam naskah-naskah lontar Sasak baik naskah berbahasa Sasak maupun berbahasa Jawa (Kawi). Aksara Swalalita terdiri atas :
Huruf Vokal ( Aksara Swara )
Huruf Konsonan ( Aksara Wyanjana )
Contoh aksara sawara :
Aksara Swara ini digunakan bila ia berdiri di depan serta menyatakan nama diri, nama tempat, nama haria dll. Aksara Swara ini juga berkedudukan sebagai Aksara Murdha, yang jika dialih aksarakan ke huruf latin-indonesia menjadi huruf Kapital, kecuali le. Contoh :
Aksara Swara : i , u , e , o , dan e, apabila melekat pada aksara Wyanjana maka aksara Swara berubah menjadi sandarangan bunyi dengan bentuk-bentuk tertentu serta penempatannya ada di atas, di bawah, di depan atau di belakang, seperti berikut :
Aksara Wyanjana : h, r , ng berada pada akhir suku kata, berubah menjadi sandangan bunyi dan berfungsi untuk mematikan suku. Sedangkan ” ra ” dan ” re ” untuk menghidupkan suku.
Aksara Carakan ( aksra baluq olas ) secara lahiriah telah mengandung bunyi vocal ” a ” , serta merupakan satu suku. Apabila belum mengandung bunyi vocal ” a ” ( h, n, c dst. Bukan ha, na, ca dst.) disebut Aksra Legena.
Dari tabel aksra Wyanjana di atas jelaslah dapat di ketahui pemakaian aksara Wyanjana pada naskah lontar sasak yang berbahasa Kawi dengan naskah lontar yang berbahasa Sasak.
Keterangan tambahan :
KANTYA adalah suara vocal atau konsonan yang dihasilkan dengan mendekatkan lidah kepada guttur (kantha) yaitu bagian langit-langit dekat kerongkongan. Terdiri atas : a, ka, kha, ga, gha, nga.
TALAWYA adalah suara vocal atau konsonan yang dihasilkan dengan mendekatkan lidah kepada palatum (talu) yaitu langit-langit lembut. Terdiri atas : i, ca, cha, ja, nya,.Talawya juga disebut Aksara Kalpaprana yaitu aksara yang lahir dari articulator tengah lidah yang disertai hembusan nafas kecil.
MURDHANYA adalah suara vocal atau konsonan yang dihasilkan dengan mendekatkan lidah kepada langit-langit keras (murdha atau ceberum). Terdiri atas : ta, da, na, re.
DANTYA adalah suara vocal atau konsonan yang dihasilkan dengan menyentuhkan ujung lidah kepada lengkung kaki gigi atas ( dental atau danta ). Terdiri atas : ta, tha, da, dha, na, la.
OSTHYA adalah suara vocal atau konsonan yang dihasilkan dengan mendekatkan kedua bibir ( labial atau ostha ). Terdiri atas : u, pa, pha, ba, bha, ma. Osthya juga disebut aksra Maharaprana yaitu aksara yang mendapat hembusan nafas besar.
ARDHASWARA adalah bunyi setengah vocal dan setengah konsonan ( semivokal atau antyaswara). Tersiri atas : ya, ra, la, wa.
USNA adalah bunyi desis ( sibilant atau asthiswara). Terdiri atas : ça, sha, sa .
WISARGA adalah bunyi yang terjadi dengan adanya hembusan nafas serta tidak memiliki daerah artikulasi (aspirat).
GLOTAL STOP adalah bunyi yang dihasilkan dengan jalan menutup rapat hembusan nafas pada rongga mulut.
Dengan adanya lambing bunyi Glotal Stop yaitu (‘/q) maka dapat diketahui bahwa aksara Wyanjana yang dipakai sebagai alat tulis menulis dalam bahasa sasak berjumlah 19. Hal ini pula yang membuktikan bahwa Aksara Jejewan/Sasak menunjukkan cirri tersendiri dalam melambangkan bunyi.
Aksara Murdha
Aksara Wyanjana yang diberi tanda >o tergolong aksara murdha. Menurut Kamus Jawa Kuna-Indonesia karangan L. Mardiwarsito, murdha memiliki dua pengertian yaitu :
Kepala
Langit-langit keras, daerah terjadinya bunyi.
Aksara murdha di Jawa diidentikkan dengan huruf Kapital, berarti mengacu kepada pengertian ” kepala “. yang perlu diketahui, dalam penulisan , aksara murdha tidak selalu berada di awal kata, melainkan bias di tengah atau dibelakang. Namun dalam pengalihan aksara ke huruf latin menjadi capital.
Dalam khaznah naskah lontar Sasak, aksara murdha umumnya hanya terpakai pada naskah lontar Sasak yang berbahasa Jawa ( kawi ) berbeda halnya dengan naskah lontar Sasak yang berbahasa Sasak, tidak mengenal pemakaian aksara murdha.
Yang membedakan aksara Jejawan ( sasak ) dengan aksara Jawa atau Bali adalah bunyi Glotal Stop yang dilambangkan dengan aksara …… .Berdsarkan pengamatan penulis ( red. Argawa ) untuk sementtara ini, aksra Jejawan dalam bahasa Sasak tidak mengenal pemakaian ……. Sebagai aksara Murdha, melainkan sebagai aksara Glotal Stop.
Contoh pemakaian aksara Murdha :
Aksara Rekan
Adalah aksara buatan untuk melambangkan bunyi dalam bahasa Arab. Bentuk aksara Rekan tetap diambil dari aksara carakan yang mirip dengan bunyi dalam bahasa Arab yang dilambangkan dengan membubuhi tanda titik 3 buah di atasnya.
Angka
Bentuk-bentuk angka dalam aksara Jejawan, mulai satuanm puluhan, dan ratusan adalah sebaga berikut :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar